NUSANTARA

Suhu Panas Politik Indonesia pada Pemilu Serentak 2019

Gempak ID 17/04/2019 | 06:43 MYT

Tahapan pemilu Serentak 2019 sedang memasuki puncaknya hari ini Rabu, 17 April 2019, di mana masyarakat keluar memilih siapa yang akan menjadi presiden, wakil presiden serta anggota legislatif di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Suhu politik di Indonesia pada pemilu serentak cukup panas karena adanya polarisasi politik dalam masyarakat, maraknya kampanye SARA, dan hoaks yang merajalela.

Polarisasi Politik dalam Masyarakat yang Menguat

Menurut Global Risk Perception Survey (GRPS) polarisasi dalam politik dapat didefinisikan sebagai “ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan terkait dengan masalah penting di dalam negara karena adanya perbedaan pandangan mengenai nilai, politik atau agama yang cukup ekstrim.”

Polarisasi politik dalam masyarakat Indonesia menguat ketika Pemilu 2014 khususnya pemilihan presiden (pilpres) dan Pilkada DKI Jakarta 2017, khususnya putaran kedua.
Di kedua pemilihan itu, pasangan calon yang ada hanya dua sehingga menjadikan kompetisi ini menjadi kompetisi head-to-head. Kompetisi ini terulang kembali dalam Pemilu Serentak 2019, di mana pasangan calon presiden dan wakilnya juga dua, antara Joko Widodo yang berpasangan dengan KH Ma’ruf Amin, dengan Prabowo Subianto yang menggandeng calon wakilnya Sandiaga Uno.

Polarisasi politik dalam masyarakat sesungguhnya tercipta karena salah satunya aturan mengenai presidential threshold (ambang batas presiden) yang berada di angka 20% dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Ketentuan ini secara langsung tidak hanya menghasilkan praktik politik transaksional mewarnai pencalonan presiden agar bisa memenangkan pertarungan dalam pemilu, tetapi juga menghambat adanya pilihan calon yang lebih beragam karena sulit sekali mencapai angka tersebut. Akhirnya dalam 2019 hanya ada dua pasang calon yang merupakan calon yang sama dengan pilpres 2014 (rematch).

Menurut GRPS, polarisasi politik sesungguhnya banyak terjadi di negara demokrasi, sehingga ini bukanlah kasus yang khas Indonesia. Di Amerika Serikat misalnya, polarisasi terjadi antara kaum liberal dan konservatif yang masing-masing diwakili oleh Partai Demokrat dan Partai Republik. Begitu juga di Brazil, dimana polarisasi terjadi antara ideologi kiri dan kanan yang direpresentasikan oleh Partai Buruh dan Partai Sosial Liberal.

Perbedaannya, dua contoh dari Amerika Serikat dan Brazil tadi menggambarkan polarisasi politik masyarakat yang terbentuk oleh ideologi partai. Sedangkan di Indonesia, ideologi partai (party id)hampir tidak relevan. Polarisasi berdasarkan ideologi itu digantikan dengan komitmen kuat (bahkan cenderung pengkultusan) terhadap kandidat calon.

Polarisasi dalam politik telah membawa adagium “either with us or against us” menjadi kenyataan. Hal ini berbahaya karena akan menciptakan masyarakat yang lebih sensitif dan menumpulkan kepercayaan satu sama lain. Secara jangka panjang, polarisasi politik akan merusak kohesi sosial dalam masyarakat.

Maraknya Kampanye Politik Identitas

Panasnya pemilu serentak 2019 juga disebabkan oleh kampanye politik identitas yang berbau suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang digelontorkan oleh para elite demi kepentingan kemenangan dalam elektoral. Kampanye SARA adalah cara paling murah, mudah, dan efektif untuk menggalang dukungan dari masyarakat, tetapi sangat berbahaya bagi kohesi sosial.

Dalam memainkan politik identitas, golongan mayoritas akan dibuat ‘bermusuhan’ dengan golongan minoritas, dan pada akhirnya proses ini dapat berujung pada eksklusi golongan minoritas. Dalam Pemilu Serentak 2019, isu politik identitas dibalut dengan wacana soal siapakah pemimpin yang mewakili aspirasi umat Islam yang memang merupakan golongan mayoritas di Indonesia. Wacana mayoritas vs minoritas yang dimainkan dalam politik tentu kontraproduktif dengan keberagaman yang sejak awal Indonesia berdiri sudah ada dan bertentangan dengan semboyan negeri ini “Bhinneka Tunggal Ika”.

Hoaks Politik yang Merajalela

Selain kampanye yang berbau politik identitas, selama pemilu serentak 2019 hoaks atau berita bohong yang merajalela juga turut memanaskan suasana. Per Februari 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mencatat bahwa ada 70 hoaks beredar hanya selama Januari 2019.

Angka ini cukup tinggi dibanding pada bulan-bulan sebelumnya dan ada kecenderungan meningkat hingga berlalunya masa pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.

Hoaks sangat berbahaya bagi demokrasi karena biasanya dibarengi dengan ujaran kebencian yang pada akhirnya akan menyebabkan konflik antar kelompok. Hoaks juga akan menimbulkan keresahan publik karena akan sulit membedakan informasi yang benar dan yang salah.

Hoaks akan menumbuhkan ketidakpercayaan tidak hanya terhadap negara tetapi juga terhadap sesama anggota masyarakat.

Pemilu adalah Sirkulasi Elite Reguler

Pemilu adalah sebuah mekanisme sirkulasi elite yang seharusnya dilangsungkan secara damai tanpa pertumpahan darah di negara demokrasi. Berbeda dengan negara monarki yang sirkulasi elitenya hanya berpusat pada keluarga kerajaan, pemilu memungkinkan kandidat datang dari berbagai macam kalangan.

Meskipun pelaksanaannya masih banyak harus diperbaiki oleh pemerintah melalui peraturan serta penguatan wewenang dan kapasitas lembaga penyelenggara, pemilu harus tetap dipahami sebagai instrumen sirkulasi elite yang dilaksanakan reguler, yang dalam kasus Indonesia, 5 tahun sekali.

Dengan memandang bahwa pemilu adalah suatu hal yang reguler, penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemilu hanyalah satu fase dalam kehidupan berpolitik, dan bukan segala-galanya.

Dengan demikian, polarisasi politik dalam masyarakat tidak seharusnya dapat terjadi. Pengkultusan kandidat dapat dihindari dengan cara berfokus pada program yang dibawa, bukan semata melihat sosok. Dalam menanggapi kampanye berbau politik identitas dan informasi hoaks pun masyarakat akan lebih bijaksana.

Setelah pemungutan suara, tahapan pemilu serentak akan memasuki tahap penghitungan dan rekapitulasi suara. Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk menciptakan pemilu yang damai demi Indonesia yang lebih demokratis dengan kohesi sosial yang kuat.

Kredit Foto: Okezone
Oleh: Dini Suryani

#Indonesia #Pemilu 2019 #Calon Presiden