Politik
Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu 2019: Dekonsolidasi Demokrasi?
Tahapan Pemilu Serentak 2019 telah mencapai tahap pemungutan suara pada 17 April 2019 kemarin. Saat ini pemilu telah memasuki tahap penghitungan dan rekapitulasi suara. Hasilnya baru akan diumumkan pada 22 Mei 2019, tetapi ada dua gejala yang membuat masa depan Indonesia bisa mengalami dekonsolidasi demokrasi.
Masih Berlanjutnya Polarisasi Politik di Masyarakat
Pertama, polarisasi politik di masyarakat yang muncul sebagai akibat dari Pemilihan Presiden (pilpres) 2014 dan Pilkada DKI 2016, masih akan berlanjut. Pilpres 2019 yang merupakan rematch dari Joko Widodo dan Prabowo Subianto secara langsung membuat pendukung kedunya juga mengalami rematch.
Istilah “cebong” yang diidentikkan dengan pendukung Joko Widodo dan istilah “kampret”sebagai pendukung Prabowo Subianto makin ramai menghiasi media sosial. Perang opini yang tidak jarang disertai ujaran kebencian seperti makanan sehari-hari.
Polarisasi politik di dunia maya juga terjadi di dunia nyata. Masyarakat lebih sensitif pada kelompok lain yang tidak memiliki pilihan politik yang sama dengannya. Pada jangka panjang, polarisasi politik ini akan mengganggu kohesivitas sosial yang sangat dibutuhkan dalam demokrasi.
Isu Politik Identitas yang Semakin Menguat
Kedua, isu politik identitas yang semakin menguat. Para elite politik telah menggunakan isu politik identitas dalam Pemilu Serentak 2019. Mereka yang terpilih karena politik identitas akan memenuhi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Hal ini secara langsung akan semakin merusak kualitas lembaga itu sendiri. Lembaga DPR sendiri merupakan salah satu lembaga demokrasi yang paling tidak dipercaya dalam berbagai survei persepsi masyarakat di Indonesia, dari tahun ke tahun.
Penurunan kualitas anggota dewan akan membuat lembaga ini semakin tidak dipercaya. Lembaga perwakilan rakyat yang tidak mendapat kepercayaan dari rakyat akan kontraproduktif pada proses demokratisasi.
Dekonsolidasi Demokrasi?
Beberapa ahli sesungguhnya sudah mengatakan bahwa Indonesia mengalami dekonsolidasi demokrasi (salah satunya Mietzner, 2018). Dekonsolidasi demokrasi terjadi dalam situasi di mana bangunan formal demokrasi tetap ada (seperti pemilu, lembaga penegak hukum, dsb.) tetapi nilai demokrasi semakin mengalami pelemahan secara gradual (Foa & Mounk, 2017).
Pasca Pemilu Serentak 2019, kekhawatiran akan terjadinya dekonsolidasi demokrasi semakin meyakinkan karena gejala yang ada memperlihatkan bahwa nilai demokrasi semakin tergerus melalui polarisasi politik dan politik identitas yang semakin menguat.
Perbaikan Sistem Pemilu dan Partai Politik
Dibutuhkan langkah-langkah untuk menahan laju gejala dekonsolidasi demokrasi. Untuk mencegah polarisasi politik misalnya, dapat dilakukan dengan merevisi pasal mengenai ambang batas kepresidenan (presidential threshold) yang saat ini terlampau tinggi, sehingga sulit dipenuhi.
Menurunkan presidential thresholdakan memungkinkan tokoh-tokoh yang lebih beragam untuk berlaga dalam pemilu sehingga polarisasi politik di tingkat akar rumput bisa lebih dihindari.
Memperbaiki partai politik juga sangat urgen untuk dilakukan. Saat ini partai politik Indonesia tidak memiliki ideologi. Absennya ideologi partai ini (party ID) membuat partai memilih jalan pragmatisme menggunakan isu politik identitas yang mudah dan murah untuk mendapat simpati.
Diharapkan dengan memperbaiki sistem pemilu dan penguatan ideologi partai politik dapat memperlambat atau bahkan menghentikan proses dekonsolidasi demokrasi di Indonesia.
Instagram: @jokowi, @prabowo
Oleh: Dini Suryani
Must-Watch Video