Wacana presiden Joko Widodo untuk memberikan pembebasan bersyarat dan tidak bersyarat terhadap narapidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir batal terlaksanakan. Pasalnya, masih ada syarat pembebasan bersyarat yang tidak dipenuhi oleh narapidana tersebut.

Selasa (22/1) lalu, Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan bahwa persyaratan tersebut tidak boleh dinegosiasikan dan harus dilaksanakan.

Abu Bakar Ba’asyir menyatakan tetap tidak mau menandatangani pernyataan ikrar setia kepada NKRI dan taat Pancasila. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan lebih lanjut dalam Perarturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018, Ba’asyir gagal memenuhi syarat pembebasan bersyarat narapidana teroris yang salah satunya adalah menyatakan ikrar kesetiaan pada NKRI secara tertulis.

Moeldoko juga menambahkan dalam wawancara bahwa sebenarnya Presiden Joko Widodo sangat memperhatikan sisi kemanusiaan dalam kasus ini. Namun, Presiden Joko Widodo juga harus memperhatikan prinsip-prinsip bernegara yang tidak dapat dinegosiasikan.

Sebelumnya, wacana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir ini diizinkan oleh Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan kemanusiaan mengingat usia Ba’asyir yang dianggap sudah cukup tua. Pertimbangan ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di Pondok Pesantren Darul Arqam, Jawa Barat pada Jumat (18/1).

(Ba'asyir gagal memenuhi syarat pembebasan bersyarat yang ditawarkan kepadanya. Kredit foto: VoAIndonesia)

Wacana Jokowi ini memicu kontroversi dan pertentangan. Pasalnya, meski sudah lanjut usia, Ba’asyir tetap dianggap sebagai tokoh yang berbahaya bagi Indonesia.

Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta Dirga Maulana menyampaikan dalam tulisannya bahwa umur Ba’asyir yang sudah tua bukan berarti ia kehilangan pengaruhnya. Ba’asyir dinilai masih memiliki signifikansi yang kuat bagi jaringan teroris di Indonesia baik di dalam maupun luar lembaga pemasyarakatan.



(Anak Ba'asyir mengungkapkan sang ayah sempat kecewa karena pembebasannya dibatalkan. Kredit foto: BBC)

Signifikansi Abu Bakar Ba’asyir ini dapat dilihat dengan jelas pada jaringan-jaringan yang dimilikinya seperti jaringan di Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang bekerjasama dengan gerakan ISIS. Bahkan, pada tahun 2002, majalah Times menyebutkan bahwa Ba’asyir yang merencanakan peledakan Masjid Istiqlal merupakan bagian dari jaringan terorisme internasional yang ada di Indonesia.

Polemik wacana pembebasan ini juga muncul setelah muncul pertanyaan terkait latar belakang sebenarnya dari diwacanakannya pembebasan ini.

Banyak pihak yang menilai bahwa wacana ini bukanlah diambil dengan pertimbangan kemanusiaan namun lebih diambil dengan pertimbangan politik. Dibebaskannya Ba’asyir dianggap akan menarik simpatisan dari pihak Muslim konservatif garis keras. Namun, munculnya wacana ini malah semakin mengundang kegaduhan dan kontroversi karena dinilai terlalu berbahaya.

Terlepas dari perdebatan tadi, tidak dipenuhinya syarat formil pembebasan bersyarat menjadikan Abu Bakar Ba’asyir batal bebas. Terkait hal tersebut, putra ketiga Ba’asyir mengabarkan bahwa ayahnya sangat kecewa karena batal bebas. Ia menceritakan pada Rabu (23/1), Ba’asyir senang sekali ketika mengetahui akan bebas dan sudah mulai beres-beres barang.

Oleh: Rahina Adani