Joko Widodo, siapa saat ini yang tidak mengenal nama tersebut? Presiden ke-7 Republik Indonesia ini terpilih dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014. Pada pemilu serentak 2019, Joko Widodo mencalonkan dirinya kembali sebagai presiden.

Sebelum masyarakat Indonesia menentukan pilihan pada tanggal 17 April 2019 nanti, ada baiknya kita mengenal lebih dekat sosok calon presiden dengan nomor urut 01 ini.

Dulu Hidup Kekurangan, Berbisnis Meubel Kemudian


(Potret Jokowi bersama keluarga dan dua cucunya)

Joko Widodo atau lebih akrab disapa dengan ‘Jokowi’ lahir di Kota Surakarta (atau juga dikenal dengan sebutan Solo) pada tanggal 21 Juni 1961, dari orang tua bernama Noto Mihardjo (Ayah) dan Sujiatmi (Ibu). Anak sulung dari empat bersaudara ini berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan bahkan cenderung kurang mampu secara ekonomi.

Situasi ini memaksanya memiliki pengalaman mencari uang sendiri dengan berdagang, menjadi kuli panggul, bahkan ojek payung dilakoninya. Berbekal keahlian tukang kayu dari ayahnya yang memang seorang penjual kayu, Jokowi pada usia 12 tahun pernah pula bekerja sebagai tukang gergaji.

Bahkan rumah keluarganya sempat digusur sehingga harus hidup menumpang di rumah kerabat selama 1,5 tahun. Pengalaman terkena penggusuran ini terulang hingga tiga kali.

Beruntung, setelah lulus dari SMA Negeri 6 Surakarta, Jokowi masuk ke salah satu universitas yang ternama di Indonesia, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, khususnya di Fakultas Kehutanan.

Kuliah di Jurusan Kehutanan membuatnya lebih dalam untuk mengenal kayu, baik struktur, pemanfaatan maupun teknologinya. Ia lulus pada tahun 1985 dan sempat bekerja di PT Kertas Kraft Aceh, Gayo, Aceh Tengah.

Tetapi ia memilih mengundurkan diri karena ingin mendampingi istri, Iriana, yang sejak 1986 dinikahinya, untuk melahirkan. Ia juga berkeinginan untuk berbisnis kayu sendiri di bawah usaha pamannya.

Dua tahun kemudian, dengan berbekal pengetahuan selama sekolah di Jurusan Kehutanan, pengalaman kerja di Aceh, dan bekerja dengan pamannya, pada tahun 1988, Jokowi memberanikan diri untuk membangun bisnis kayu miliknya sendiri. Ia memberi nama usahanya itu CV Rakabu, diambil dari nama anak pertamanya Gibran Rakabuming Raka yang lahir di tahun yang sama.

Pada tahun 1991, menyusul kelahiran putri kedua, Kahiyang Ayu, dan pada tahun 1995 lahir putra bungsu yang diberi nama Kaesang Pangarep.

Bisnis kayu, khususnya meubel yang dimiliki Jokowi berjalan cukup sukses, walaupun sempat mengalami kerugian akibat penipuan. Salah satu titik penting dalam bisnisnya adalah pertemuannya dengan seorang berkebangsaan Jerman, Micl Romaknan, yang menjadi rekanannya hingga Jokowi bisa mengekspor meubel ke Eropa.

Rupanya dari Micl Romaknan pula sebutan ‘Jokowi’ itu tercipta, karena Romaknan kesulitan mengucapkan Joko Widodo secara lengkap. Mengekspor meubel ke Eropa memberi kesempatan bagi Jokowi untuk berkunjung langsung ke sana dan melihat tata kota yang rapi dan indah dibandingkan kota asalnya. Kunjungan ke Eropa ini menjadi sebuah pengalaman yang inspiratif bagi Jokowi.

Dari Solo, Jakarta, hingga Indonesia



Jokowi yang seorang pebisnis rupanya tertarik juga pada dunia politik. Pada tahun 2004 ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki basis cukup kuat di Solo. Ia menjadi salah satu pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP di kota itu.

Rupanya di tahun yang sama ia dipercaya oleh partai tersebut untuk mencalonkan diri menjadi Walikota Solo pada pilkada 2004, bersama dengan calon wakilnya FX Hadi Rudyatmo. Pasangan ini berhasil memenangkan pilkada dengan suara sebesar 36,62%.

Inspirasi yang didapat Jokowi dari Eropa menjadi pegangannya untuk membenahi Kota Solo. Tidak hanya menata infrastruktur, ia juga melakukan penataan pedagang kaki lima (PKL) dengan cara relokasi.

Pendekatannya yang sangat humanis kepada para PKL mengundang perhatian banyak pihak. Ia juga melakukan pengembangan ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan, hingga melakukan rebranding Kota Solo dengan slogan yang populer hingga kini, ‘The Spirit of Java’.

Kinerja Jokowi – FX Hadi yang dinilai memuaskan bagi masyarakat Solo, mengantarkan mereka berdua memenangkan kembali pilkada Walikota Solo pada tahun 2010. Kemenangan tersebut merupakan salah satu kemenangan pilkada yang paling fenomenal di Indonesia, dimana raihan suara yang diperoleh Jokowi – FX Hadi mencapai hampir 100%, yaitu 90,09%.

Sosoknya yang mendapat perhatian karena kinerjanya yang cukup baik, menarik perhatian elite partai politik di Jakarta. Jokowi kemudian di tahun 2012 meninggalkan Solo dan maju bersama Basuki Tjahaja Purnama (atau Ahok) dalam pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta.

Dengan diusung oleh PDIP dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), pasangan Jokowi-Ahok memenangkan pilgub DKI Jakarta dalam 2 putaran.

Selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi menjalankan berbagai kebijakan yang mewakili kepentingan rakyat biasa, atau sering disebut juga dengan kebijakan yang populis.

Beberapa di antaranya adalah program bantuan kesehatan untuk warga kurang mampu melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS), maupun bantuan pendidikan dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Ia juga berhasil melakukan penataan Pasar Tanah Abang yang semula semwarut dengan merelokasi PKL ke Blok G dengan tanpa kekerasan.

Penataan kampung dan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) juga dilakukannya. Selain itu, dalam masa kepemimpinannya sebagai gubernur ia juga melakukan pembenahan transportasi dengan menambah armada Transjakarta dan melaksanakan proyek Mass Rapid Transit (MRT).

Dalam bidang pemerintahan Jokowi melakukan penerapan lelang jabatan untuk menghindari nepotisme dalam rekrutmen pegawai negeri sipil di DKI Jakarta.

Serangkaian kinerja Jokowi yang dianggap baik, mengantarkannya menjadi salah satu kandidat The World Major 2014. Penghargaan walikota terbaik dunia itu, sebelumnya pernah dimenangkan Jokowi di 2012 (peringkat ketiga) ketika masih menjabat sebagai Walikota Solo.

Kinerjanya yang cukup baik ini juga membuat namanya masuk ke dalam bursa pencalonan presiden pada tahun 2014. Setelah 1,5 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi maju bersama Jusuf Kalla, politisi Parta Golongan Karya (Golkar) sebagai kandidat presiden dan wakil presiden.



Yang menarik, Jokowi dalam pilpres 2014 melawan Prabowo Subianto, politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), salah satu orang yang menarik Jokowi dari Solo ke Jakarta. Prabowo berpasangan dengan politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Hatta Rajasa sebagai wakil presiden.

Pilpres 2014 merupakan pilpres yang cukup bersejarah juga bagi Indonesia, karena hanya memunculkan dua pasang kandidat secara head to head. Pemungutan suara yang dilaksanakan pada 9 Juni 2014 menghasilkan pemenang presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf Kalla dengan 53,15% suara.

Sebagai presiden, Jokowi melakukan berbagai kebijakan. Di bidang keamanan, Jokowi dinilai sigap dalam pemberantasan terorisme melalui pengesahan UU Terorisme. Di bidang ekonomi, Jokowi berhasil menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona baru Indonesia.

Ia juga berhasil mendorong pemerintah untuk merebut Blok Mahakam, Blok Rokan dan melaksanakan divestasi saham PT Freeport.

Tetapi kinerja Jokowi sebagai presiden bukannya tanpa ketidakpuasan. Fokusnya yang besar terhadap infrastruktur menuai kritik dari banyak kalangan karena mempengaruhi keseimbangan APBN.

Kebijakannya soal impor beras dan impor garam juga banyak dikritisi karena dinilai kurang berpihak pada petani. Di bidang hukum, Jokowi juga dinilai kurang mendorong secara optimal pemberantasan korupsi.

Meskipun masih mengundang banyak kritik, berbagai survei menunjukkan bahwa pada dasarnya puas terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden.

Pada Maret 2019, Indo Barometer merilis bahwa 64,9% publik puas terhadap kinerja Jokowi. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pada April 2019 juga merilis surveinya yang menunjukkan bahwa 71% publik puas dengan pemerintahan Jokowi.

Kepemimpinan Jokowi: Problem Solver tetapi Kurang Tegas



Melihat kisah pribadi, capaian karier dan prestasi, penting untuk menganalisis kepemimpinan Jokowi, apalagi mengingat ia mencalonkan diri kembali dalam pilpres 2019. Mengenai kepemimpinan Jokowi, ada empat poin yang bisa dilihat.

Pertama, dengan pengalamannya yang panjang menjadi walikota, gubernur hingga presiden sederet capaian positif dan prestasi, sangat jelas terlihat bahwa ia cukup memiliki pemahaman dalam mengatasi permasalahan dalam pemerintahan (problem solver).

Kedua, Jokowi juga diketahui jujur dan bebas dari korupsi dan nepotisme. Salah satu contohnya adalah orang-orang terdekatnya, misalnya ketiga anaknya, tidak mendapatkan proyek dari negara selama dia memimpin. Padahal tradisi nepotisme sudah mengakar kuat dalam kepemimpinan di Indonesia.

Ketiga, hal lainnya adalah sebagai pemimpin, Jokowi cukup bisa diterima berbagai kalangan. Penerimaan yang luas ini bisa jadi disebabkan oleh latar belakang Jokowi sendiri yang berasal dari orang biasa, sehingga ia memiliki pendekatan yang berbeda dengan elite politik kebanyakan yang berasal dari stratifikasi sosial lebih tinggi.

Dengan kemampuan pendekatan seperti ini, Jokowi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi aspirasi dan kebutuhan rakyat dengan lebih baik.

Keempat, meskipun Jokowi dinilai baik, karakter pemimpin yang tegas dan tidak mudah diintervensi pihak lain kurang menonjol dari dirinya. Banyak yang menilai bahwa Jokowi adalah ‘boneka’ Megawati, pimpinan PDIP.

Juga banyak kebijakan yang seharusnya bisa dilakukan oleh Jokowi, seperti mendorong penyelesaian kasus penyiraman air keras kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, tidak dilakukan padahal sudah dua tahun berlalu. Banyak yang mengasumsikan bahwa pilihan ini diambil Jokowi karena ada intervensi pihak lain.

Dari pemaparan di atas, silakan nilai sendiri apakah Jokowi sosok yang pantas untuk memimpin kembali Indonesia pada 2019-2024.

Kredit Foto: Instagram Jokowi
Oleh: Dini Suryani