Bertepatan dengan perayaan Hari Valentine di tanggal 14 Februari 2018, film adaptasi novel laris berjudul “Antologi Rasa” ditayangkan secara serentak di seluruh bioskop Indonesia. Reaksi penonton mungkin memang menunjukkan pro dan kontra, namun tidak dapat dipungkiri bahwa film ini berpotensi untuk menjadi salah satu film terlaris di Indonesia.

Dalam waktu empat hari setelah penayangan, tercatat kurang lebih 128,176 penonton berhasil dibuat baper oleh kisah cinta segitiga Harris, Keara, dan Ruly.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah film yang diadaptasi dari sebuah novel akan selalu laris manis di bioskop?

Sebenarnya, adaptasi literatur bukan sesuatu yang baru dalam sejarah perfilman. Sebagian besar film yang tayang di era early films datang dari cerita rakyat, novel, hingga berita kriminal koran kuning.

Hollywood bahkan mempunyai novel-novel populer yang sengaja dirancang untuk diadaptasi ke layar lebar. Sebut saja penulis-penulis seperti Michael Crichton dan Stephen King, mereka rajin memproduksi karya-karya seperti itu. Indonesia pun sudah dari lama mengadaptasi novel ke layar lebar.

Bahkan sebelum merdeka dari penjajahan, Indonesia sudah mempunyai karya-karya seperti “Setangan Berloemoer Darah” (1928), “Si Tjonat” (1929) dan “Boenga Roos dari Tjikembang” (1931) yang semuanya diadaptasi dari novel.

Berdasarkan penelitian random sampling dengan responden berjumlah 400 dari Tirto.id tentang “Mengapa Masyarakat Menonton Film Adaptasi Novel?”, ditemukan bahwa mayoritas alasan responden (71,8%) menonton film-film tersebut karena ingin tahu bagaimana cerita yang ada di novel tersebut divisualisasikan.

Alasan terbanyak lainnya (53,8%) karena suka dengan alur cerita novel tersebut.

Melihat data tersebut, maka masuk akal jika film-film adaptasi novel di Indonesia kebanyakan selalu laris di bioskop, mengingat bahwa strategi produser film cenderung mengarah pada novel-novel yang telah laris di pasaran sebelumnya.

Kita sudah melihat sendiri kesuksesan “Laskar Pelangi” (2009 - 4.719.453 penonton), “Dilan 1990” (2018 - 6.315.664 penonton), serta “Ayat-Ayat Cinta” (2008 - 3.676.135 penonton) sebagai film yang novelnya terlebih dahulu menjadi bahan pembicaraan yang viral.

Banyak yang beranggapan bahwa mengadaptasi novel menjadi sebuah film berarti “membunuh imajinasi para pembaca” karena apa yang divisualisasikan oleh sang sutradara lewat film terkadang tidak sama dengan apa yang dibayangkan oleh mereka yang sudah terlebih dahulu membaca novelnya.

Namun itulah keindahan sebuah film: ia adalah representasi dari perspektif banyak pihak tentang suatu hal. Apa yang akan kamu temukan di sebuah adaptasi film bukanlah murni berasal dari apa yang penulis novel kegemaranmu bayangkan, namun juga dipengaruhi oleh visi sang sutradara, produser, dan juga penulis skenarionya.

Tidak puas dengan sebuah film adaptasi novel yang disajikan? Hey, mungkin kamu bisa menjadi film maker selanjutnya!

Kredit Foto: Wikipedia

Oleh: Tommy Pranama