Pemungutan suara dalam pemilu serentak 2019 baru saja dilaksanakan pada Rabu, 17 April 2019 lalu. Seluruh warga Indonesia yang telah memenuhi syarat (17 tahun atau sudah menikah), telah memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi DPR, baik di tingkat pusat maupun daerah, wakil daerah (DPD), serta pasangan presiden dan wakilnya yang akan memimpin negara ini lima tahun ke depan.

Beberapa jam setelah pemungutan suara selesai, muncul hasil quick count (hitung cepat) yang menghiasi berbagai saluran layar kaca nasional. Akan tetapi, kemunculan angka quick count telah menimbulkan kericuhan dalam masyarakat, terutama terkait dengan hasil hitung suara untuk presiden.

Quick Count Pemilu 2019 dan Klaim Kemenangan Antar Kubu

(Kredit grafis: Antaranews)

Dalam konteks Indonesia, quick count bukanlah barang baru, karena sejak 2009, lembaga yang melakukan hitung cepat sudah dilibatkan dalam pemilu. Pada pemilu serentak 2019, keterlibatan lembaga survei dalam quick count pemilu memiliki dasar hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 10 tahun 2018 tentang Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu.

Tahun ini terdapat 40 lembaga quick count yang resmi terdaftar di KPU. Terdapat persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga-lembaga tersebut yaitu salah satunya melaporkan sumber dana yang dilakukan dalam kegiatan survei, untuk menjamin independensinya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, lembaga yang melakukan quick count baru bisa mempublikasikan hasilnya setelah pukul 15.00 WIB, atau dua jam setelah pemungutan suara di daerah dengan zona waktu bagian barat berakhir. Keputusan ini diambil MK untuk menjaga kemurnian suara masyarakat agar tidak terpengaruh dengan hasil quick count dalam memilih.

Tepat pukul 15.00 WIB pada 17 April 2019, hasil quick count dari berbagai lembaga muncul di televisi. Lima lembaga dari 40 yang terdaftar, seperti Litbang Kompas, IndoBarometer, Charta Politika, Poltracking dan Indikator memperlihatkan hasil yang cukup seragam, meskipun jumlah sampel TPS-nya berbeda-beda.

Dalam hasil quick count-nya, kelima lembaga itu menunjukkan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin memperoleh suara dengan kisaran 53-54 persen, sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh suara dalam kisaran 45-46 persen.

Seakan mengulang peristiwa pada pemilu presiden 2014, kedua kubu pendukung presiden saling mengklaim kemenangan.

Kubu pendukung pasangan nomor urut 01, mengklaim bahwa hasil quick count akurat dan menyatakan bahwa Joko Widodo – Ma'ruf Amin adalah pemenang Pemilu 2019. Sedangkan kubu pasangan nomor urut 02, mengklaim bahwa quick count yang dipublikasikan itu tidak akurat dan menyesatkan.

Kubu 02 memiliki penghitungan sendiri yang diklaim sebagai “real count”. Penghitungan itu memenangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dengan proporsi suara sebesar 62 persen.

Sebenarnya seberapa akuratkah quick count itu?

Akurasi Quick Count Pemilu 2014



Quick count
lebih akurat dibanding survei persepsi atau exit poll, karena yang digunakan sebagai data adalah form C1 sebagai laporan resmi hasil penghitungan suara di TPS yang terpilih sebagai sampel. Berbeda dengan survei persepsi yang datanya didapat dari persepsi responden, maupun exit poll yang datanya didapat dari pengakuan responden.

Pada pemilihan presiden 2014 misalnya, lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan quick count dan memperoleh data bahwa pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan suara sebesar 52,98 persen.

Sedangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh suara 47,02 persen. Sampel yang digunakan pada waktu itu adalah 4.000 TPS dengan data yang masuk adalah sebesar 99,75 persen. Batas kesalahan (margin of error) quick count ini adalah sebesar 0,62 persen.

Lembaga Litbang Kompas juga melakukan quick count dengan hasil 52,34 persen suara diperoleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan 47,66 persen diperoleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Margin of error hitung cepat ini sebesar 0,11 persen untuk sampel pemilih dan 2,2 persen untuk sampel TPS.

Begitu pula dengan lembaga Indikator yang menunjuk 2.000 TPS sebagai sampelnya pada quick count 2014 lalu. Lembaga itu memperoleh data bahwa Jokowi-JK mendapatkan 52,97 persen suara, dan Prabowo-Hatta mendapatkan 47,03 persen. Batas kesalahan quick count ini adalah 0,1 persen dengan tingkat kepercayaan 99 persen.

Untuk mengecek akurasi hasil quick count di atas, perlu diperbandingkan dengan hasil akhir penghitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Pemilu 2014. Jokowi-JK memperoleh 53,12 persen suara, dan pasangan Prabowo-Hatta mendapatkan sebesar 46,85 persen.

Hasil ini menunjukkan bahwa hasil quick count yang didapat oleh tiga lembaga di atas tidak berbeda jauh dengan perhitungan suara sebenarnya (real count) yang dilakukan oleh KPU. Disimpulkan sebagai tidak jauh berbeda karena selisih suaranya masih dalam batas margin of error.

Mengapa quick count bisa sedemikian akurat?

Quick Count sebagai Metode Pengawasan Pemilu

Quick count dapat diartikan sebagai metode statistik untuk menghitung suara dalam pemilu yang didapatkan dari tempat pemungutan suara (TPS) yang telah dipilih sebagai sampel. Ilmu statistik memungkinkan untuk mengetahui kecenderungan pilihan/persepsi masyarakat tanpa memeriksa seluruh populasi, tetapi cukup dengan memilih sampelnya dengan metode yang sudah terstandarisasi.

Secara sederhana, seumpama mengukur kadar asin dalam air laut, tidak perlu meminum seluruh airnya, tetapi cukup mengambil satu sendok air saja untuk mengetahui seberapa asin air laut tersebut. Dalam konteks pemilu, karena quick count tidak menghitung keseluruhan suara, maka prosesnya menjadi lebih cepat (quick) dibanding penghitungan suara seluruhnya yang dilakukan KPU.

National Democratic Institute (NDI) mengatakan bahwa quick count adalah metode yang sangat kuat sebagai cara pengawasan pelaksanaan penghitungan suara dalam pemilu yang dapat mengevaluasi keseluruhan proses pemungutan suara. Dalam konteks ini, quick count dapat menjadi instrumen untuk memproyeksikan dan memverifikasi hasil penghitungan suara yang resmi.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa quick counttidak bisa dikatakan sebagai hasil akhir penghitungan suara sehingga seharusnya tidak perlu membuat masyarakat ricuh. Quick count dapat menjadi instrumen kalibrasi penghitungan suara pemilu.

Jika terdapat perbedaan yang sangat jauh antara quick count dengan hasil dari KPU, maka kemungkinan kesalahan tidak hanya datang dari lembaga yang melakukan quick count, tetapi juga bisa datang dari KPU.

Oleh karena itu, quick count harus dilihat sebagai partisipasi warga untuk turut mengawasi proses pemilu.

Menurut Grömping (2011), partisipasi aktif warga dalam mengawasi proses pemilu dapat meningkatkan kualitas demokrasi dalam tiga cara. Pertama, meningkatkan transparansi dan kualitas proses politik, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan publik pada proses pemilu.

Kedua, mendorong keterlibatan masyarakat dalam urusan publik. Ketiga, mempromosikan akuntabilitas politik, hak kebebasan sipil dan politik yang lebih luas, serta tegaknya aturan hukum secara umum, yang mana berkontribusi untuk mendorong ke arah demokrasi yang substansial.

Oleh karena itu, tidak perlu anti terhadap quick count, karena kehadirannya justru menandakan sehatnya demokrasi di suatu negara.

Kredit Foto: Antaranews.com
Instagram: Jokowi, Prabowo

Oleh: Dini Suryani