Peristiwa 22 Mei 2019 Dan Ujian Demokrasi Indonesia
Pemilu Indonesia pada tahun 2019 yang dimenangkan oleh pasangan kandidat Joko Widodo - Ma’ruf Amin menyisakan ketidakpuasan pada pihak Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Di sisi lain, pemerintah selama dalam kurun waktu unjuk rasa tersebut membatasi sebagian fitur dalam penggunaan media sosial seperti Facebook dan Instagram, serta aplikasi pesan instan seperti WhatsApp.
Peristiwa unjuk rasa yang berlangsung kemarin sesungguhnya adalah wujud pengorbanan masyarakat oleh elite yang kurang dewasa dalam berpolitik. Pihak Prabowo - Sandi sejak awal telah mendelegitimasi proses pemilu dengan tuduhan kecurangan tidak hanya kepada kandidat Jokowi-Ma’ruf tetapi juga kepada penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
Upaya delegitimasi proses pemilu ini kemudian berujung pada penolakan hasil pemilu yang dikatakan secara gamblang oleh Prabowo dalam satu acara yang bertajuk “Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019” yang diadakan Badan Pemenangan Nasional (BPN), tim sukses Prabowo-Sandi di Hotel Grand Sahid Jaya tanggal 14 Mei 2019.
Beranjak dari runtutan kejadian di atas, unjuk rasa yang berlangsung hingga memakan korban nyawa dan luka-luka itu memperlihatkan ketidakmampuan elite untuk bisa menjalankan sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa ini sejak reformasi bergulir. Indonesia yang sudah melaksanakan pemilihan presiden secara langsung sejak 2004, telah mempersiapkan pula mekanisme sengketa pemilu apabila ada proses pemilu yang tidak dapat diterima oleh salah satu pihak.
Pemilu secara konseptual sesungguhnya adalah mekanisme sirkulasi elite tanpa pertumpahan darah. Tetapi pemilu 2019 telah memakan korban, hanya karena ketidakmampuan elite menerima kekalahan dan jikapun telah terjadi kecurangan, elite tidak bisa membuktikannya. Peristiwa 22 Mei kemarin telah memperburuk kualitas demokrasi Indonesia.
Pembatasan Media Sosial, Pembatasan Kebebasan Memperoleh Informasi
DI sisi lain, kerusuhan 22 Mei berdampak pada tindakan pemerintah yang membatasi sejumlah media sosial dan fitur dalam aplikasi percakapan instan. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) hal ini dilakukan untuk menghambat peredaran hoaks dan provokasi yang lebih meluas kepada masyarakat. Akan tetapi, pembatasan ini tidak hanya menghambat peredaran informasi yang palsu, tetapi juga menghambat masyarakat untuk mendapat informasi yang benar, seperti dikatakan oleh Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam rilis persnya, sebagaimana berita yang dimuat di kompas.com (23/05).
Pembatasan ini dapat diatasi oleh sebagian masyarakat yang memakai Virtual Private Network (VPN) dalam berkomunikasi meskipun ada resiko kebocoran data pribadi pengguna. Sehingga sebenarnya pembatasan yang dilakukan pemerintah belum bisa dikatakan optimal untuk menangkal hoaks.
Di sisi lain, meskipun sebagian besar masyarakat memilih untuk memakai VPN, pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah tetap menjadi masalah. Pembatasan ini telah mengganggu tidak hanya semata hak berkomunikasi, tetapi telah mengganggu roda perekonomian sebagian masyarakat yang mengandalkan media sosial dan aplikasi Whatsapp untuk berbisnis.
Dalam konteks demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, adalah suatu hal yang dapat mencederai demokrasi. Langkah pemerintah untuk menangkal hoaks sebenarnya dapat dimaklumi.
Ujian Demokrasi
Dua kejadian yang saling berkaitan dalam Peristiwa 22 Mei, yaitu kerusuhan pemilu dan pembatasan hak komunikasi warga yang terjadi baru saja sesungguhnya merupakan sebuah ujian demokrasi bagi bangsa Indonesia.